Kegiatan yang turut menghadirkan berbagai pihak untuk mendengarkan secara langsung pernyataan dan pandangan yang sudah menjadi permasalahan panjang dilahan konsesi Hutan Tanaman Industri (HTI) TPL tersebut digelar di City Hall Grand Aston Hotel Medan, Jumat (3/10/2025).
Dalam pertemuan tersebut berbagai pandangan dan pernyataan dukungan serta penolakan dari dua lembaga masyarakat pun disampaikan secara ilmiah hingga sejarah:
Lembaga Pendukung Tanah Adat
Mangitua Ambarita yang menyinggung sejarah konflik terjadi sejak 1998. Ia menyebut adanya bentrokan, penyerangan oleh pihak keamanan, serta berdampak terhadap masyarakat hingga menyebabkan korban luka, jalan ditutup, lahan rusak. Ia menyatakan negara dianggap mengabaikan pembelaan masyarakat.
Hal yang sama juga dinyatakan Kapusin sebuah Yayasan Keadilan, Perdamaian, dan Keutuhan Ciptaan Kapusin, mereka menyampaikan keprihatinan, bantuan sembako, terhadap masyarakat yang menuntut tanah adat serta menegaskan rakyat berdaulat atas tanahnya.
Jon Toni Talihoran dari Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) memberikan pendapat dan menekankan terjadi kriminalisasi, pembatasan akses masyarakat, serta perlunya TGPF (Tim Gabungan Pencari Fakta).
Ungkapan Penolakan dan Pandangan Akademisi
Pandangan terhadap tuntutan tanah adat juga disampaikan tokoh masyarakat Simalungun Dr. Sarmedi Purba. Dirinya sangat menolak tuntutan dan keberadaan tanah adat di Simalungun.
Menurutnya perlu diketahui definisi tegas tentang tanah adat sesuai standar internasional. Beliau juga menyatakan tuntutan tanah adat yang dilakukan sekelompok masyarakat, tidak sesuai prosedur hukum (tidak ada perda, tata batas, atau masyarakat adat yang memenuhi syarat).
Begitu pula pandangan dikemukakan Jan Togu Damanik, Praktisi dan Akademisi yang menyampaikan bahwa definisi masyarakat adat harus jelas agar tidak menimbulkan kekacauan tuntutan. Ia menekankan perlunya kajian akademik dan regulasi yang kuat.
Pandangan Pemerintah Daerah
Sejumlah Kepala Daerah (Bupati) di wilayah operasional TPL juga turut hadir dalam pertemuan tersebut. Wakil Bupati Simalungun, Benny Sinaga menyampaikan pasca peristiwa bentrok masyarakat dan perusahaan pada 22 September 2025 yang lalu, pihaknya sudah melakukan mediasi.
Namun hasilnya belum mendapatkan kata kesepakatan, bahkan masyarakat yang menuntut tanah adat melakukan penolakan bantuan dan meminta pemerintah melakukan penyelesaian dengan melibatkan tokoh adat.
Selain itu pendapat juga dikemukakan oleh Pemerintah Kabupaten Tapanuli Utara, mereka menyampaikan terdapat ada 10 titik tuntutan tanah adat yang berada di wilayah perusahaan, karena tata batas belum jelas.
Sedangkan Pemkab Toba ada 7 usulan pembentukan Masyarakat Hutan Adat (MHA), namun belum memenuhi persyaratan. Begitu pula Pemkab Humbahas yang mengungkapkan TPL beroperasi normal, pernah ada kasus Pandumaan-Sipituhuta yang sudah diselesaikan.
Pemkab Dairi mengakui ada identifikasi MHA, namun tidak ada konflik signifikan. Sama halnya Pemkab Pakpak Bharat yang mengatakan tidak ada konflik horizontal, tetapi ada dampak ekologis.
Sementara Pemkab Tapanuli Selatan mengungkapkan terdapat tuntutan Areal Penggunaan Lain ±4.500 ha, masyarakat meminta agar areal tersebut dikeluarkan dari konsesi.
Menyikapi persoalan itu pihak perusahaan PT Toba Pulp Lestari Tbk, (TPL) menjelaskan riwayat konsesi sejak 1992 seluas 269.060 ha, kini 167.912 ha dengan 9 kali adendum.
Direktur TPL Jandres Silalahi menegaskan TPL hanya mengelola 29% areal, sisanya tetap hutan. Pihak perusahaan mengakui konflik baru muncul setelah 2016 saat kebijakan Perhutanan Sosial. Saat ini 15.500 ha masih dalam klaim konflik, namun perusahaan terbuka untuk kemitraan.
"TPL menolak tuduhan perusakan hutan dan pelanggaran HAM, dan menyebut operasi selalu sesuai regulasi. TPL juga menyampaikan dampak insiden 22 September 2025: FSC suspended, ekspor terganggu, karyawan menjadi korban", tegas Jandres Silalahi.
Pandangan Aparat Penegak Hukum dan Komnas HAM
Aparat Penegak Hukum (APH) dalam hal ini Kapolda melalui Irwasda menyampaikan kronologi bentrok: 150 pekerja TPL vs ±50 orang Lamtoras. Ada 16 laporan polisi, 11 kasus sedang disidik (penganiayaan, perusakan, pencurian). Kepolisian menekankan perlunya lembaga verifikasi hak adat untuk mencegah konflik berulang.
Sedangkan Komisi Nasional Hak Azasi Manusia menyatakan sudah ada 31 titik tuntutan masyarakat adat yang masuk dalam data mereka, termasuk irisan tuntutan 17.250 ha lahan di wilayah HTI TPL.
Komnas HAM menegaskan tidak boleh ada kekerasan, dan meminta penyelidikan mendalam kepolisian, serta perlunya Peraturan Daerah (Perda) mengenai Tanah Adat lintas Kabupaten.
Begitu juga Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang menyatakan siap memberikan perlindungan jika ada permohonan, bahkan sudah melakukan audiensi dengan pihak terkait.
Sementara Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menyampaikan kewajiban perusahaan menghormati HAM (mengacu UNGP) dan selanjutnya akan mengidentifikasi ulang luasan dan administrasi, mendorong pansus agraria, serta mengupayakan dialog terbuka.
Mendengarkan pernyataan dan pandangan yang diutarakan berbagai pihak, beberapa anggota Komisi XIII DPR RI menyampaikan bahwa perusahaan tetap harus menghormati HAM, tetapi juga perlu solusi untuk menjaga investasi.
Mereka menekankan perlunya data konsesi yang jelas, keterlibatan Bupati, serta penghentian kekerasan. Begitu juga seruan keras agar kasus ini segera ditangani dengan TGPF dan pansus agraria.
Untuk itu Komisi XIII DPR RI merekomendasikan kepada Kementerian Hukum dan HAM untuk membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF).
Penyelesaian sengketa harus non diskriminatif, tanpa kekerasan, dan melibatkan semua pihak terkait.
Begitu juga portal Jalan yang ditutup harus segera dibuka kembali sebagai wujud itikad baik untuk menjamin akses pendidikan dan penghidupan masyarakat.
DPR berkomitmen untuk menindaklanjuti melalui pansus agraria, agar penyelesaian konflik ini menyeluruh dan berkelanjutan