ANTARAsatu.com | JAKARTA - Pemberian hak monopoli kepada BUMN melalui Pasal 86M dalam UU Nomor 1 Tahun 2025 kembali memicu kekhawatiran publik dalam forum simposium nasional yang digelar Senin (30/6). Forum itu diselenggarakan Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU) bersama Universitas Paramadina dan KPPU untuk membahas dampak ekonomi dan hukum kebijakan tersebut.
"Kami ingin memastikan bahwa BUMN dikelola secara profesional dan berdaya saing, tetapi tetap tunduk pada prinsip-prinsip persaingan yang sehat dan adil," ungkap Ketua Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) M. Fanshurullah Asa.
Ketentuan baru ini memberi kewenangan Presiden untuk menetapkan hak monopoli bagi BUMN atau anak usahanya melalui Peraturan Pemerintah. Dalam diskusi, para akademisi dan regulator menilai klausul ini berpotensi menimbulkan distorsi pasar dan mencederai prinsip kompetisi usaha yang seimbang.
Guru Besar Hukum dari Universitas Sumatera Utara, Ningrum Natasya Sirait, menyoroti implikasi yuridis dan kelembagaan dari ketentuan tersebut. Dia menyatakan, tanpa batasan dan indikator yang jelas, Pasal 86M bisa menjadi alat legitimasi dominasi sepihak dalam pasar strategis.
Pakar ekonomi dari Universitas Indonesia, T.M. Zakir S. Machmud, menilai pemberian monopoli akan mengurangi efisiensi pasar. Menurutnya, efisiensi hanya terjadi jika pelaku usaha bersaing dalam kualitas, inovasi dan harga, bukan karena posisi istimewa yang diatur secara administratif.
Pelaksana Tugas Deputi Hukum Kementerian BUMN, Wahyu Setyawan, mengatakan perlu keseimbangan antara kepentingan nasional dan prinsip persaingan. Dia menyebut kebijakan BUMN tetap harus berpihak pada pelayanan publik, tetapi tidak boleh mematikan pelaku usaha swasta.
Dalam simposium ini, KPPU menyampaikan bahwa sejak 2020 mereka telah mengajukan enam rekomendasi kepada Kementerian BUMN. Rekomendasi tersebut meliputi mitigasi jabatan rangkap direksi, penguatan program kepatuhan persaingan serta pembenahan struktur anak usaha di sektor strategis.
Diskusi juga menghadirkan Anggota KPPU Eugenia Mardanugraha dan Deputi Kajian KPPU Taufik Ariyanto. Mereka menekankan pentingnya keterlibatan KPPU dalam perumusan peraturan pelaksana dari Pasal 86M agar pengawasan tetap objektif dan tidak diskriminatif.
Chandra Setiawan, mantan anggota KPPU, serta Udin Silalahi dari Universitas Pelita Harapan, menyatakan perlu landasan definisi dan kriteria monopoli dalam PP. Mereka menegaskan, pengaturan tersebut harus mengakomodir masukan lintas sektor agar tidak bias pada kepentingan entitas tertentu.
Wakil Rektor Universitas Paramadina Handi Risza Idris menambahkan, akademisi perlu turut serta mengawal kebijakan agar tidak bertentangan dengan semangat reformasi ekonomi. Menurutnya, peran pengajar hukum dan ekonomi penting dalam membentuk kerangka regulasi yang inklusif.
Saat ini Indonesia memiliki sekitar 120 BUMN aktif dengan ratusan anak usaha di berbagai sektor. Kinerja sebagian besar BUMN menunjukkan ketimpangan antara tujuan bisnis dan pelayanan publik, khususnya di sektor perkebunan, pertanian dan ketenagalistrikan.
Di sektor perkebunan dan pangan, sejumlah BUMN menunjukkan kerugian akibat lemahnya efisiensi dan manajemen produksi. Sementara itu, sektor ketenagalistrikan kerap dikritik karena masih bergantung pada subsidi dan memonopoli distribusi energi di wilayah terpencil.
Dalam laporan kinerja 2024, beberapa BUMN seperti PT Perkebunan Nusantara mencatat penurunan laba bersih lebih dari 30% dibandingkan tahun sebelumnya. Di sektor listrik, PT PLN masih menghadapi tantangan dalam efisiensi operasional dan pencapaian target elektrifikasi di luar Jawa.
Keterangan foto:
Forum Dosen Persaingan Usaha (FDPU) di Universitas Paramadina, Jakarta, Senin (30/6).