![]() |
| Salah satu lokasi bencana alam tanah longsor di Tapanuli Raya |
Banjir besar atau lazim disebut banjir bandang meluluhlantakkan sejumlah kecamatan, menelan korban jiwa baik anak-anak maupun orang dewasa. Hingga saat ini, jumlah pasti korban masih belum dapat dipastikan.
Bagi HMI Cabang Medan, bencana ini bukan semata-mata fenomena alam, tetapi buah dari pembiaran panjang terhadap praktik perusakan lingkungan.
“Kita sedang melihat bagaimana alam bekerja, dan bagaimana alam memberi teguran keras,” ujar Kabid Lingkungan Hidup HMI Cabang Medan, periode 2025–2026,, Rahmad Hidayat Munthe, dalam keterangan tertulis diterima ANTARAsatu.com, Rabu (26/11/2025).
“Manusia bukan lagi menanam, tapi menumbang. Dan hari ini kita memanen akibatnya," tambahnya.
Jejak Perusakan yang Tak Pernah Ditindak Tegas
Dari berbagai referensi dan temuan lapangan, HMI mencatat maraknya kegiatan ilegal seperti Galian C ilegal, Ilegal logging, serta aktivitas industri ekstraktif yang menggerus tutupan hutan di Tapanuli Raya.
Rahmad mengungkapkan dalam video-video yang beredar luas, terlihat pohon-pohon hasil penebangan liar hanyut bersama material bebatuan. Menurutnya bukti visual ini menjadi penanda jelas bahwa hulu Daerah Aliran Sungai (DAS) telah rusak parah.
Di tengah kondisi itu, Rahmat menyoroti pembangunan proyek raksasa PLTA NSHE di kawasan DAS Batang Toru yang semakin menambah tekanan ekologis. Proses pembangunannya menghilangkan sebagian kawasan hutan di sepanjang sungai, memperburuk stabilitas ekosistem yang sudah kritis.
Tidak berhenti di situ, HMI juga menerima informasi mengenai aktivitas PT Agincourt Resources yang melakukan pertambangan dengan sistem open pit, sebuah metode yang memaksa hilangnya tutupan hutan secara masif. Tambang ini berada tidak jauh dari DAS Batang Toru, kawasan perbukitan, serta permukiman warga, sehingga risiko ekologis semakin meningkat.
Dalam sepekan terakhir, ditemukan pula empat truk bermuatan kayu alam berdiameter sekitar 80 cm dan panjang 12 meter melintas di jalur Adiankoting–Balige bypass. Kayu tersebut diduga berasal dari hutan alam di wilayah Tapanuli Tengah. Namun hingga kini, pemerintah belum menunjukkan transparansi dan ketegasan terkait penindakan atas dugaan ilegal logging tersebut.
Aktivis Sudah Lama Berteriak, Negara Baru Bergerak Saat Bencana Datang
HMI menilai bahwa pemerintah terlalu sering menyepelekan peringatan dini dari aktivis dan organisasi lingkungan. Suara mereka diabaikan, dan justru muncul aksi saling menyalahkan ketika bencana sudah merenggut nyawa dan merusak kehidupan warga.
“Kami tidak ingin bencana seperti ini terus berulang hanya untuk memuluskan kepentingan mafia sumber daya alam. Kerakusan segelintir orang tidak boleh mengorbankan seluruh makhluk hidup di sekitarnya.” tegas Rahmad.
Seruan HMI untuk Pemerintah dan Penegak Hukum
HMI Cabang Medan menuntut pengungkapan dan penindakan tegas terhadap seluruh aktor ilegal logging, mafia kayu, dan pelaku perusakan hutan.
Audit lingkungan menyeluruh terhadap proyek dan industri yang berada dalam kawasan DAS Batang Toru dan Tapanuli Raya.
Transparansi pemerintah dalam setiap proses penyelidikan, penanganan bencana, dan kebijakan pemulihan ekosistem.
Moratorium izin tambang dan pembukaan hutan di kawasan rawan bencana.
Bencana yang terjadi merupakan bukti nyata bahwa alam sedang murka. HMI Cabang Medan mengajak seluruh elemen bangsa untuk menjadikan peristiwa ini sebagai refleksi bersama.
“Alam memang menyediakan yang kita cari, tetapi tidak untuk dimiliki. Ambillah secukupnya, jangan jadikan kerakusan sebagai warisan bagi generasi mendatang,” tutup Rahmad Hidayat Munthe.***
