google.com, pub-7586912727531913, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Negara Salah Urus Hutan, Indonesia Butuh Revisi UU Kehutanan

Advertisement

Negara Salah Urus Hutan, Indonesia Butuh Revisi UU Kehutanan

16 Juli 2025

 

Ilustrasi.

ANTARAsatu.com | JAKARTA - Tata kelola hutan di Indonesia dinilai mengalami kegagalan struktural selama lebih dari dua dekade terakhir. Pemerintah dipandang terus mempertahankan pendekatan kolonial yang menempatkan hutan sebagai aset ekonomi semata, bukan sebagai ekosistem kehidupan.


Pembahasan revisi Undang-Undang Kehutanan (UU No. 41 Tahun 1999) di Komisi IV DPR RI pertengahan Juli 2025 membuka ruang koreksi mendasar atas kebijakan tersebut. Koalisi masyarakat sipil menyerukan pencabutan total UU lama dan pembentukan UU baru yang berpihak pada masyarakat adat serta melindungi hutan sebagai ekosistem utuh.


"Koalisi berpendapat bahwa UU Kehutanan No.41/1999 sudah tidak layak lagi dipertahankan," kata Anggi Putra Prayoga dari Forest Watch Indonesia, Senin (14/7).


Selama 26 tahun, kebijakan kehutanan Indonesia dinilai mengabaikan masyarakat adat, memperluas konflik tenurial dan memberi ruang impunitas terhadap perusak hutan. UU 41/1999 juga telah mengalami bongkar-pasang sebanyak tujuh kali melalui putusan Mahkamah Konstitusi dan perubahan parsial lewat regulasi lain.


Uli Arta Siagian dari WALHI menyoroti dominasi kepentingan ekonomi dalam cara negara mengelola hutan. Akses masyarakat melalui hutan adat dan perhutanan sosial disebut sangat terbatas dan sering tumpang tindih dengan konsesi korporasi.


"Pengalaman WALHI mendampingi 1,5 juta hektare wilayah kelola rakyat, hanya 16% yang mendapat pengakuan sepanjang sepuluh tahun," ujarnya.


Menurut Refki Saputra dari Greenpeace Indonesia, pendekatan legalisasi perusakan hutan menjadi praktik sistemik di bawah UU saat ini. Bahkan moratorium izin di kawasan gambut tidak cukup kuat untuk mencegah deforestasi yang terus terjadi secara masif.


“Sudah saatnya UU Kehutanan yang baru menghentikan praktik monetisasi hutan dan menyelamatkan 90,7 juta hektare hutan alam tersisa,” katanya.


Data terbaru Greenpeace menunjukkan hilangnya 39 ribu hektare hutan alam di area moratorium sepanjang 2024. Potensi kerusakan lebih luas mengancam 42,6 juta hektare hutan produksi terbatas, tetap dan konversi.


Erwin Dwi Kristianto dari HuMa menekankan perlunya perubahan rezim dari pengurusan menjadi pengelolaan. Ia mengkritik pemerintah yang hanya mengurus batas-batas kawasan, tapi mengabaikan kerusakan isi hutan itu sendiri.


"Negara mengurusi kawasan hutan, tapi tidak mengurus hutannya," ujar dia.


Sadam Afian dari Yayasan Madani Berkelanjutan mengingatkan, UU lama belum mengakomodasi perubahan iklim sebagai tantangan krusial. Dia mengusulkan pelarangan total terhadap pembukaan hutan alam oleh semua sektor, termasuk proyek strategis nasional.

"Kenapa tidak dibalik? Sektor perhutanan bisa membuat aturan bahwa hutan alam tidak boleh dibuka untuk apa pun," katanya.


Dampak kerusakan hutan paling berat dirasakan oleh kelompok rentan, terutama perempuan di komunitas adat. Sita Aripurnami dari Women Research Institute mencatat 925 kasus kriminalisasi masyarakat adat yang menyebabkan perempuan terpaksa menjadi kepala keluarga.


"UU yang baru wajib menyertakan klausul kesetaraan gender dan perlindungan kelompok rentan," ujarnya.


Patria Rizky dari Kaoem Telapak menekankan pentingnya partisipasi publik dalam penyusunan UU baru. Ia menilai partisipasi bermakna adalah bagian konstitusional yang wajib dipenuhi sesuai Putusan MK Nomor 91/PUU/XVIII/2020.


Pasal 3 UU 41/1999 menjanjikan kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Namun, menurut Koalisi, evaluasi filosofis, sosiologis dan yuridis menunjukkan janji itu gagal total dicapai.


Karena itu, Koalisi merekomendasikan agar proses perubahan parsial dihentikan dan digantikan oleh pembentukan UU Kehutanan baru yang sepenuhnya disusun berdasarkan prinsip perlindungan ekosistem, keadilan sosial dan pemenuhan hak masyarakat adat.