ANTARAsatu.com | SIGI - Di tengah sejuknya hutan adat Kulawi, Sulawesi Tengah, suara dentingan alat tradisional ike masih terdengar lirih memecah pagi. Di balik suara itu, ada kisah tentang perempuan-perempuan adat yang mengubah kulit kayu menjadi aksesori mode bernilai tinggi.
"Penggunaan kain kulit kayu masih bersifat sakral dan terbatas pada kegiatan adat atau upacara besar masyarakat setempat. Kain ini belum digunakan secara umum dalam kehidupan sehari-hari," kata Nedya, salah satu pelaku inovasi di Sigi, belum lama ini.
Dulu, kain kulit kayu hanya tampil dalam ritual. Kini, dompet dan tas bergaya modern yang memanfaatkan bahan ini mulai menarik perhatian konsumen yang peduli lingkungan dan budaya. Inovasi ini digagas Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) di Sigi, Sulawesi Tengah, dengan harapan sederhana: menjaga hutan, memberdayakan masyarakat.
Bahan dasar kain berasal dari pohon nunu atau ivo, dua jenis pohon yang tumbuh di wilayah hutan adat Kulawi. Prosesnya tidak instan—kulit kayu diambil dengan cara yang tidak merusak pohon, lalu direbus dan difermentasi. Setelah itu, lembaran kayu dipipihkan secara perlahan dengan ike hingga menjadi kain.
Teknik ini diwariskan secara turun-temurun oleh masyarakat adat pegunungan Kulawi. Di tangan generasi baru, pengetahuan itu tidak hanya bertahan, tetapi bertransformasi menjadi kekuatan ekonomi dan simbol identitas kultural.
Pengambilan bahan dilakukan terbatas dan berimbang, mengikuti kearifan lokal masyarakat adat. Hutan tidak ditebang semaunya, pohon tidak dikuliti sembarangan. Prinsip ini mencerminkan praktik perhutanan sosial yang berpihak pada keberlanjutan dan kelestarian.
Inovasi yang lahir dari tanah adat itu tidak berhenti pada soal produksi. Nedya dan kelompoknya kini juga merancang produk turunan yang mengikuti tren pasar. Mereka menyasar kalangan muda yang mulai peduli pada isu keberlanjutan dan pencarian identitas lokal dalam gaya hidup.
Pendekatan kolaboratif berbasis kewirausahaan sosial pun dijalankan. Model bisnis tidak hanya berbicara soal laba, tetapi juga tentang keadilan distribusi hasil dan pengakuan terhadap peran masyarakat adat sebagai penjaga hutan.
Kini, setiap tas dan dompet berbahan kulit kayu yang lahir dari tangan warga Kulawi membawa cerita tentang perubahan. Perubahan yang datang bukan dari luar, tetapi dari akar kultural yang terus dirawat, dipertahankan dan dikembangkan oleh warganya sendiri.
Di saat dunia fesyen masih bertumpu pada bahan sintetis dan kulit hewan, hutan Kulawi menawarkan alternatif: aksesori cantik dari kulit pohon yang ditebang dengan cinta, bukan keserakahan.