google.com, pub-7586912727531913, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Bau Limbah, Bau Sistem Rusak

Advertisement

Bau Limbah, Bau Sistem Rusak

Dyan Putra
28 Juli 2025

Penulis: Retno Purwaningtias, S. IP.

(Pemerhati Sosial Politik)

PT Agro Jaya Perdana (AJP) pernah di demo warga beberapa waktu lalu
ANTARAsatu.com - Bau menyengat menyusup ke rumah-rumah, membuat warga sesak napas dan tak nyaman menjalani hari. Bukan kebakaran yang terjadi, melainkan aktivitas industri yang terus dibiarkan mencemari udara.


Saya adalah salah satu warga yang tinggal di sekitar lokasi pencemaran, dan setiap hari harus menghirup bau tak sedap yang tak kunjung pergi. Bau itu datang dan pergi dari jam ke jam, muncul tiba-tiba lalu menghilang, namun kerap kembali justru saat hendak beristirahat. Udara bersih seolah bukan lagi hak rakyat, melainkan kemewahan yang harus dibeli.


Selama hampir sebulan, bau menyengat terus meneror warga. Karena tak tahan lagi, mereka akhirnya turun ke jalan dan menggelar aksi protes di depan PT Agro Jaya Perdana, perusahaan pengelola minyak mentah (CPO) yang diduga sebagai sumber pencemaran.


Warga menuntut penghentian pencemaran bau serta menagih komitmen tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) sebagai bentuk kompensasi lingkungan. Ketua Komisi IV DPRD Kota Medan, Paul Mei Anton, turut hadir dalam aksi tersebut dan berperan sebagai mediator dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara warga dan pihak perusahaan. Namun, hingga kini belum ada kesepakatan yang mampu memberikan kejelasan dan solusi atas keresahan yang dialami warga (mistar.id, 7/7/2025).


Kondisi ini menunjukkan bahwa akar masalahnya tidak tersentuh. Aksi yang dilakukan warga memang penting, namun tidak menyentuh pokok persoalan yang sesungguhnya. Permasalahan ini tidak bisa dilepaskan dari sistem yang menaunginya, yaitu penerapan sistem kapitalis sekuler oleh negara.


Dalam logika industri kapitalis, keuntungan materi menjadi tujuan utama, sementara dampak jangka panjang terhadap manusia dan lingkungan sering diabaikan.


Pengelolaan limbah tak dianggap prioritas karena dinilai mengurangi profit. Demi menjaga laba, biaya pengolahan limbah ditekan habis-habisan. Lebih parahnya, perusahaan tidak merasa bersalah saat merusak lingkungan dan membahayakan nyawa warga.


Cara pandang ini tumbuh dalam sistem sekuler yang memisahkan agama dari kehidupan, sehingga urusan industri dijalankan tanpa standar halal-haram, tanpa pertimbangan nilai-nilai syariat.


Di sisi lain, dalam sistem kapitalis sekuler, peran negara hanya sebatas regulator yang kompromistis terhadap kepentingan pemilik modal. Perusahaan bisa memperoleh izin produksi asal memenuhi syarat administratif dan membayar pajak, tanpa mempertimbangkan dampak terhadap lingkungan maupun keselamatan manusia.


Karena itu, masalah ini tak bisa dilihat sekadar sebagai kasus pencemaran lingkungan biasa. Masalah ini mencerminkan persoalan sistemik yang lebih dalam. Selama paradigma yang dipakai masih kapitalisme sekuler, kejadian serupa sangat mungkin akan terulang. Sebab dalam sistem ini, yang jadi tolok ukur bukan amanah atau tanggung jawab di hadapan Tuhan dan manusia, melainkan dihitung berdasarkan untung-rugi semata.


Lebih jauh, tuntutan warga yang hanya berhenti pada permintaan kompensasi atau program CSR pun tidak akan menyelesaikan masalah. Padahal, Corporate Social Responsibility (CSR) yang sejatinya dimaksudkan sebagai bentuk tanggung jawab sosial perusahaan, dalam praktik kapitalisme sekuler justru kerap menjadi alat pencitraan. CSR berubah menjadi semacam “biaya sosial” atau penutup mulut yang dibayarkan agar perusahaan bisa terus beroperasi tanpa menghadapi gelombang protes dari warga. Bentuknya pun beragam, mulai dari pembangunan fasilitas umum hingga bantuan di bidang kesehatan atau pendidikan. Sayangnya, semua itu tak menyentuh akar persoalan. Perusahaan tetap berjalan, sementara pencemaran, kerusakan lingkungan, bahkan korban manusia, pasti akan terus terjadi.


Sebaliknya, Islam memiliki pandangan yang berbeda dalam mengatur industri. Dalam pandangan Islam, pengelolaan industri wajib berlandaskan syariat. Setiap aktivitas produksi harus memperhatikan kelestarian lingkungan dan keselamatan manusia. Tidak boleh ada bahaya yang ditimbulkan bagi masyarakat atau alam sekitar. Hal ini sesuai dengan kaidah syar’i “La darara wa la dirar” (tidak boleh membahayakan diri sendiri maupun orang lain), yang menjadi dasar dalam mengelola aktivitas kehidupan, termasuk industri, agar tidak menimbulkan kerusakan atau bahaya bagi manusia dan lingkungan.


Prinsip ini menempatkan aspek keselamatan dan keberlanjutan sebagai bagian yang tak terpisahkan dari sistem produksi. Sebab dalam Islam, tidak ada pemisahan antara agama dan kehidupan. Syariat mengatur seluruh aspek, termasuk tata kelola industri. Karena itu, negara dalam sistem Islam tidak bersikap pasif, melainkan aktif mengawasi dan memastikan bahwa seluruh aktivitas industri berjalan sesuai dengan ketentuan syariat.


Terlebih lagi, dalam Islam, minyak termasuk dalam kategori harta kepemilikan umum. Karena itu, pengelolaannya wajib berada di tangan negara, bukan diserahkan kepada swasta. Negara bertanggung jawab penuh memastikan pengelolaan limbah industri minyak dilakukan dengan baik agar tidak mencemari udara, air, maupun tanah, serta tidak membahayakan kesehatan masyarakat. Untuk itu, negara akan menggunakan teknologi terbaik dan ramah lingkungan dalam proses eksplorasi, produksi, hingga pengolahan limbahnya, teknologi yang sesuai dengan standar syariat dan mempertimbangkan aspek keselamatan serta keberlanjutan lingkungan.


Negara dalam Islam juga berperan sebagai penjaga amanah rakyat, termasuk dalam menjamin ketersediaan dan kelayakan sumber daya alam seperti udara bersih, air yang sehat, dan tanah yang subur. Hal ini sangat berbeda dengan sistem hari ini, di mana pengelolaan minyak diserahkan kepada swasta. Akibatnya, alih-alih memberikan maslahat, justru kerusakan yang terjadi karena orientasi utamanya hanyalah profit, bukan kemaslahatan umat.


Jika terjadi pelanggaran seperti pencemaran lingkungan yang merugikan masyarakat, maka pelaku bisa dikenai sanksi takzir, yaitu sanksi yang ditetapkan oleh khalifah berdasarkan ijtihad untuk mencegah kemudaratan dan menjaga kemaslahatan umum. Sanksi ini bisa berupa teguran, denda, penutupan usaha, hingga hukuman fisik, tergantung tingkat kerusakan dan dampak yang ditimbulkan.


Sejarah Islam pun mencatat ketegasan dalam menjaga lingkungan. Sebagaimana yang pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab ra., ketika beliau mendapati ada seorang pedagang roti yang membakar roti hingga asapnya mengganggu warga sekitar. Umar tidak membiarkan hal ini terus berlangsung. Ia langsung menegur dan memerintahkan agar pedagang tersebut menghentikan aktivitas yang membahayakan orang lain, bahkan memintanya pindah ke lokasi yang tidak mengganggu masyarakat. Tindakan ini menunjukkan bagaimana negara dalam Islam tidak pasif terhadap kerusakan lingkungan dan gangguan publik, sekecil apa pun. Negara bertindak cepat dan tegas untuk mencegah bahaya serta menjaga kenyamanan dan keselamatan rakyat.


Jika masyarakat menginginkan solusi yang mampu menyelesaikan persoalan ini hingga ke akarnya, maka kembalikanlah pada Islam, bagaimana Islam mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk pengelolaan sumber daya alam dan perlindungan lingkungan. Dalam sistem Islam, kebijakan tidak dibangun atas dasar kepentingan golongan, tetapi berdasarkan wahyu yang membawa kemaslahatan hakiki bagi manusia dan alam.


Sebaliknya, jika masalah ini terus-menerus diserahkan pada forum-forum seperti Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang hanya mempertemukan kepentingan berbagai pihak tanpa kerangka ideologis yang kokoh, maka jangan heran jika tak ada solusi tuntas yang dihasilkan. Apalagi, jika penyelesaiannya disandarkan pada akal manusia dan aturan buatan yang senantiasa berubah-ubah, maka pertentangan dan tarik-menarik kepentingan akan terus terjadi, sementara rakyat tetap menjadi korban.


Kasus ini menjadi contoh nyata bagaimana saat masalah lingkungan dan pencemaran udara akibat pengelolaan limbah minyak oleh pihak swasta tidak diselesaikan berdasarkan syariat Islam, maka hasilnya justru saling lempar tanggung jawab, tarik ulur kepentingan, dan rapat-rapat formal tanpa penyelesaian konkret.


Ternyata, bau busuk itu bukan hanya datang dari limbah yang mencemari udara, tapi juga dari sistem rusak yang membiarkan masalah menumpuk tanpa penyelesaian yang hakiki. Sistem yang memihak korporasi, mengabaikan hak rakyat, dan menggantungkan solusi pada mekanisme yang penuh kepentingan.


Padahal, Islam sudah memiliki sistem yang jelas dan mengikat. Negara dalam Islam bukan hanya bertugas mengatur, tetapi juga memastikan pelaksanaan hukum syariat, termasuk dalam menjaga lingkungan hidup. Sebagaimana firman Allah:

Kemudian Kami jadikan kamu berada di atas suatu syariat (peraturan) dari urusan itu, maka ikutilah syariat itu dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang tidak mengetahui." (TQS Al-Jatsiyah [45]: 18)


Solusi yang diberikan Islam tidak hanya mengatur masalah industri dan lingkungan, tetapi juga menentukan siapa yang berhak mengelola, bagaimana pengelolaannya, serta apa sanksinya jika merusak. Maka, selama sistem buatan manusia yang bercampur kepentingan pribadi masih dijadikan dasar, masalah seperti ini akan terus berulang. Sudah saatnya kita kembali kepada syariat yang berasal dari Zat Yang Maha Mengetahui seluruh kebutuhan manusia dan alam.


Wallahualam bissawab.