Ilustrasi.
ANTARAsatu.com | MEDAN - Beras oplosan kembali menjadi sorotan publik setelah Satgas Pangan Kementerian Pertanian menemukan 212 merek beras tidak memenuhi standar mutu. Dugaan praktik pencampuran kualitas beras ini membuka persoalan, ketidakmampuan masyarakat mengenali perbedaan antara beras asli dan oplosan.
Gunawan Benjamin, Ekonom dari Universitas Islam Sumatera Utara, menilai masyarakat tidak punya kemampuan teknis untuk membedakan kualitas beras. Keterbatasan pemahaman dan alat menjadi penghalang utama dalam mendeteksi jenis beras yang dibeli sehari-hari.
"Beras yang didistribusikan ke masyarakat memiliki ragam kualitas yang berbeda, tapi masyarakat kerap tidak mengetahui perbedaannya," ujar Gunawan, Rabu (16/7).
Menurut Gunawan, selama ini konsumen hanya mengandalkan ciri fisik sederhana dalam menilai kualitas beras. Warna, bau, tingkat pecahan dan harga menjadi patokan yang sebenarnya tidak cukup akurat untuk menentukan apakah beras tergolong premium atau medium.
Masyarakat umumnya percaya begitu saja pada label di kemasan beras yang menyatakan kualitas tertentu. Padahal, penentuan kualitas beras seharusnya mengikuti standar teknis seperti kadar air, derajat sosoh dan jumlah butir patah yang hanya bisa diukur melalui pengujian laboratorium.
"Kalau pemerintah ingin memastikan kualitas beras sesuai kemasan, maka perlu dilakukan pengambilan sampel dan pengujian berkala," kata Gunawan.
Karena itu dia menegaskan, mekanisme pelaporan oleh konsumen tidak bisa diandalkan sebagai pengawasan efektif. Kemungkinan laporan masyarakat keliru cukup besar karena tidak didukung pemahaman teknis.
Gunawan menyarankan agar seluruh proses kontrol kualitas dilakukan di tingkat pemerintah, bukan dibebankan kepada masyarakat. Menurutnya, masyarakat hanya perlu menikmati produk yang sudah terjamin kualitasnya secara institusional.
"Fungsi pengawasan sebaiknya dilakukan pemerintah," pungkasnya.
