google.com, pub-7586912727531913, DIRECT, f08c47fec0942fa0 Tidak Seperti IHSG dan Rupiah, Harga Emas Stabil Jelang Data Inflasi AS

Advertisement

Tidak Seperti IHSG dan Rupiah, Harga Emas Stabil Jelang Data Inflasi AS

18 Desember 2025

 

Ilustrasi.


ANTARAsatu.com | MEDAN - Harga emas dunia bergerak relatif stabil menjelang rilis data inflasi Amerika Serikat. Pada perdagangan Kamis (18/12), emas tercatat berada di kisaran US$ 4.327 per ons troy atau sekitar Rp2,32 juta per gram, dengan tekanan yang masih terbatas dibandingkan aset keuangan lain.


Ekonom Universitas Islam Sumatera Utara (UISU) Gunawan Benjamin menilai pelaku pasar komoditas cenderung bersikap menunggu menjelang publikasi data inflasi AS. Yang mana data tersebut berpotensi memengaruhi arah pasar global.


Meski menghadapi tekanan jangka pendek, secara fundamental emas masih memperoleh sentimen positif dari dinamika ekonomi global yang berkembang belakangan ini. Sikap wait and see tersebut juga dipengaruhi oleh spekulasi kebijakan moneter The Federal Reserve ke depan.


Data inflasi AS menjadi sangat krusial di tengah proyeksi penurunan suku bunga acuan. Terutama setelah sebelumnya tingkat pengangguran AS tercatat mengalami kenaikan.


Inflasi akan menjadi indikator pembanding berikutnya dalam menentukan arah kebijakan The Fed pada 2026. Berbeda dengan emas, pasar saham domestik justru bergerak melemah.


Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditransaksikan dalam rentang 8.618 hingga 8.730 dan ditutup turun 0,68% ke level 8.618,195. Tekanan terjadi setelah IHSG sempat menguat di awal sesi, seiring koreksi yang dialami mayoritas bursa saham Asia.


Tekanan pada IHSG juga sejalan dengan kehati-hatian pelaku pasar global menjelang rilis data inflasi AS. Koreksi bursa Asia turut menyeret pergerakan IHSG yang akhirnya ditutup di zona merah pada akhir perdagangan.


Milai tukar rupiah juga ditutup melemah pada level Rp16.710 per dolar AS. Pelemahan rupiah terjadi di tengah sikap hati-hati pelaku pasar dan proyeksi inflasi AS yang berpotensi meningkat.


Kondisi itu membuka peluang penguatan dolar AS terhadap mata uang rivalnya. Gunawan Benjamin menambahkan, jika inflasi AS benar-benar mengalami kenaikan, maka tekanan pada aset berisiko seperti saham dan mata uang dapat berlanjut.


"Namun kondisi tersebut relatif tidak terlalu berdampak besar pada emas yang masih dipandang sebagai aset lindung nilai di tengah ketidakpastian kebijakan moneter dan ekonomi global," pungkasnya.