Penulis: Aulia Zuriyati
(Aktivis Muslimah)
![]() |
Namun, sering kali kebersihan baru dibicarakan saat masalahnya sudah terlihat. Sampah menumpuk di pinggir jalan, drainase tersumbat, bau tak sedap menyebar, barulah kemudian masyarakat bergerak membersihkannya. Fenomena ini terjadi bukan hanya di kota besar, tapi juga di daerah yang sebenarnya memiliki program kebersihan rutin.
Contohnya di Kecamatan Medan Marelan, pemerintah setempat mengerahkan petugas kebersihan setiap hari untuk menyisir sampah di jalan utama, pemukiman, hingga membersihkan saluran air dari dedaunan dan plastik. Warga pun diajak melalui sosialisasi untuk peduli lingkungan. Upaya ini patut diapresiasi. Namun, apakah langkah ini cukup untuk mengatasi masalah sampah? (Instagram.com, 1/8/2025).
Jika ditelusuri lebih dalam, penyisiran sampah setiap hari hanya menyentuh permukaan masalah. Akar persoalan sesungguhnya adalah budaya dan sistem yang membentuk perilaku masyarakat. Selama orang masih terbiasa membuang sampah sembarangan dan pola produksi barang tetap menghasilkan limbah yang sulit diurai, masalah kebersihan akan terus berulang.
Dalam Islam, kebersihan bukan sekadar himbauan, tetapi bagian dari ibadah. Menjaga kebersihan adalah tanda keimanan, bukan hanya membersihkan diri atau lingkungan secara fisik, tapi juga mencegah kerusakan akibat ulah manusia.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan.” (QS. Al-A’raf: 56).
Ayat ini jelas melarang manusia berbuat sesuatu yang merusak keseimbangan alam. Sampah menumpuk, sungai tercemar, udara kotor—semua itu termasuk bentuk kerusakan jika diabaikan.
Di sistem sekuler saat ini, urusan lingkungan sering dianggap tanggung jawab individu atau kelompok tertentu. Pemerintah hadir sebatas penyedia fasilitas atau pelaksana program sesaat.
Padahal, dalam pandangan Islam, negara adalah pihak yang memikul amanah penuh untuk memastikan lingkungan terjaga. Tanggung jawab ini diwujudkan melalui pengaturan pola produksi dan konsumsi agar tidak menghasilkan limbah berbahaya.
Negara juga menanamkan pendidikan lingkungan berbasis akidah Islam sejak usia dini, sehingga kesadaran menjaga kebersihan tumbuh dari keyakinan, bukan sekadar kebiasaan. Aturan lingkungan ditegakkan dengan sanksi tegas sebagai bagian dari penerapan hukum syariat.
Tak kalah penting, negara menjamin infrastruktur kebersihan tersedia secara memadai dan terpelihara dengan baik, sehingga masyarakat dapat hidup bersih dan sehat.
Rasulullah sendiri mencontohkan kepemimpinan yang memperhatikan urusan publik, termasuk kebersihan kota Madinah. Dalam sejarah, para khalifah membangun sistem drainase, mengelola pasar dengan aturan kebersihan ketat, dan menugaskan petugas khusus untuk memantau kebersihan jalan. Membersihkan sampah setiap hari tanpa mengubah sistem yang membentuk kebiasaan membuang sampah sembarangan ibarat menimba air di bak yang bocor, masalah akan terus kembali tanpa henti.
Islam mengajarkan agar persoalan diselesaikan dari akarnya, bukan sekadar menutup gejalanya. Selama kebijakan lingkungan berada di bawah sistem kapitalisme yang fokus pada efek, bukan sebab, upaya kebersihan akan selalu bersifat jangka pendek. Kapitalisme memandang masalah lingkungan dari sudut ekonomi, selama tidak mengganggu keuntungan, limbah dan polusi sering diabaikan.
Islam berbeda. Islam memandang lingkungan sebagai amanah dari Allah yang harus dijaga, bukan sebagai sumber keuntungan yang bisa dieksploitasi. Prinsip ini menjadikan solusi Islam menyeluruh dan berkelanjutan.
Jika kita ingin lingkungan bersih bukan hanya hari ini tetapi selamanya, yang dibutuhkan bukan sekadar petugas yang rajin menyapu jalan, melainkan sistem yang menjadikan kebersihan sebagai bagian dari iman, dilindungi aturan, dan ditegakkan oleh penguasa yang amanah.
Wallahualam Bissawab.